Makalah Singkat Aksiologi
Otak Manusia Melebihi Memori Komputer |
A.
PENDAHULUAN
Sebagaimana perintah Tuhan dalam
kitab-kitab-Nya dijelaskan bahwa manusia diwajibkan untuk berfikir tentang
kejadian alam dan dirinya, dalam kurun waktu yang lama bermacam ilmu telah
bermunculan mengikuti proses perkembangan zaman yang salah satunya Filsafat.
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan
pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar.[1]
Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu. Dalam filsafat ada 3 karakteristik penting yaitu Epistimologi (cara
memperoleh ilmu), Ontologi (membicarakan hakikat), dan Aksiologi (kegunaan ilmu
dan pengetahuan).
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial
maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat,
sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pada perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi
dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan dan
ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya
(Semiawan, 2005).
Filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan
ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia (The Liang
Gie, 2004). Sedangkan menurut Lewis White Beck, filsafat ilmu bertujuan
membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan nilai dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Pembahasan filsafat ilmu sangat
penting karena akan mendorong manusia untuk lebih kreatif dan inovatif.
Filsafat ilmu memberikan spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan
sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran
ontologis, epistemologis maupun aksiologi.
B. PEMBAHASAN
Aksiologi
Menurut Kamus Filsafat, Aksiologi
Berasal dari bahasa Yunani Axios (layak, pantas) dan Logos (Ilmu). Jadi
aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Jujun
S.Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Aksiologi
berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu kumpulan
pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan, meramalkan
dan menganalisa gejala-gejala alam. (Cece Rakhmat, 2010)
Dari pendapat diatas dapat dikatakan
bahwa Aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.
Fungsi Aksiologi
Aksiologi
ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk mengantisipasi perkembangan dan
teknologi (IPTEK) tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya
kerja aksiologi antara lain : Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan
menemukan kebenaran yang hakiki. Dalam pemilihan objek penelaahan dapat
dilakukan secara etis, tidak mengubah kodrat manusia, dan tidak merendahkan
martabat manusia. Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat
meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta
memberikan keseimbangan alam lewat pemanfaatan ilmu.
Penilaian
Aksiologi
Bramel
(Jalaluddin dan Abdullah,1997) membagi aksiologi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral.
Bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus
pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar
manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik
tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan
sebagai sang pencipta.
Bagian
kedua dari aksiologi adalah esthetic
expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh
manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Mengutip
pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar Amsal, 2004), nilai itu objektif ataukah
subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang muncul dari
filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam
segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya,
maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan
penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik.
Dengan demikian nilai subjekif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan
yang dimiliki akal budi manusia seperti perasaan, intelektualitas dan hasil
nilai subjektif akan selalu mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang.
Selanjutnya nilai itu akan objektif,
jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif
muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme.
Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada
objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada (Bakhtiar
Amsal, 2004).
Bagian ketiga dari Aksiologi adalah , sosio-political life, yaitu kehidupan social politik yang akan melahirkan filsafat
sosiopolitik. Manfaat dari ilmu adalah sudah tidak terhitung banyaknya
manfaat dari ilmu bagi manusia dan
makhluk hidup secara keseluruhan. Mulai dari zamannya Copernicus sampai Mark
Elliot Zuckerberg , ilmu terus
berkembang dan memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dengan ilmu manusia bisa sampai ke bulan,
dengan ilmu manusia dapat mengetahui bagian-bagian tersembunyi dan terkecil
dari sel tubuh manusia. Ilmu telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
peradaban manusia, tapi dengan ilmu juga manusia dapat menghancurkan peradaban
manusia yang lain.
Mengutip
pendapatnya Francis Bacon dalam Suriasumantri (1999) yang mengatakan bahwa “Pengetahuan adalah
kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu akan merupakan berkat atau malapetaka bagi
umat manusia, semua itu terletak pada system nilai dari orang yang menggunakan
kekuasaan tersebut. Ilmu itu bersifat
netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk, dan si pemilik pengetahuan
itulah yang harus mempunyai sikap.
Selanjutnya Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan
ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang
kuat.
Untuk merumuskan aksiologi dari
ilmu, Jujun S Sumantri merumuskan
kedalam 4 tahapan yaitu:
-
Untuk apa ilmu tersebut digunakan?
-
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
-
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral?
-
Bagaimana kaitan antara teknik
procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral / professional.
Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun
jenis ilmu yang ada, kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang
ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh
masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya
malahan menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang
dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau
belum.
C. PENUTUP / KESIMPULAN
Setiap
jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi)
dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini
saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi
ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin
membicarakan epistemologi ilmu,
maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail,
tidak mungkin bahasan epistemologi
terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang
didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa
dikaitkan.
Keterkaitan
antara ontologi, epistemologi,
dan aksiologi seperti juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam
suatu sistem membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng
dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang
berurutan dalam mekanisme pemikiran.
Demikian
juga, setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi)
dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini
saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi
ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Pembahasan
mengenai epistemologi harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi.
Secara jelas, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari
ontologi dan aksiologi. Dalam membahas dimensi kajian filsafat
ilmu didasarkan model berpikir sistemik, sehingga
harus senantiasa dikaitkan.